32-Alkitab-Bagi Semua Orang


Pada saat Alkitab lengkap masih dianggap suatu buku baru, sudah ada orang-orang yang tak dapat membacanya. Dengan kata lain, pada abad ketiga (sama seperti pada abad ke 20 !) ada orang-orang yang kurang pandai membaca bahasa Ibrani dan bahasa Yunani. Jadi, pada abad itu sudah perlu adanya terjemahan dari bahasa-bahasa asli Firman Allah tersebut.

Bahkan sebelum penulisan Kitab Perjanjian Baru, sudah ada banyak orang yang membutuhkan suatu terjemahan Kitab Perjanjian Lama. Pada abad ketiga sebelum Masehi, bahasa Yunani sudah umum dipakai di mana-mana di daerah Timur Tengah. Banyak orang Yahudi yang dapat berbicara bahasa Yunani, tetapi tidak menguasai bahasa nenek moyangnya--khususnya orang Yahudi yang merantau di negeri Mesir.
Ketika orang-orang Yahudi itu mendengar ayat-ayat dari Perjanjian Lama bahasa Ibrani yang dibacakan dalam rumah-rumah ibadat mereka di negeri Mesir, mereka tidak mengerti. Mereka memerlukan seseorang yang dapat menjelaskan artinya dalam bahasa Yunani.

Terjemahan Firman Allah
Untuk mengatasi persoalan itu, atas titah raja Mesir dikumpulkan sejumlah ahli Taurat dan sarjana Alkitab. Mereka menterjemahkan seluruh Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Karena jumlah penterjemah itu ada 70 orang, hasil karya mereka biasa disebut Septuaginta; artinya, "tujuhpuluh."
Perjanjian Lama Septuaginta itu selesai dikerjakan kurang lebih 200 tahun sebelum Yesus lahir. Dan inilah Alkitab yang Ia pelajari sebagai seorang anak laki-laki dalam rumah ibadat di desa Nasaret. Kita tahu Yesus rajin mempelajarinya, karena sebagai orang dewasa Ia sering mengutipnya dan menjelaskannya.
Pengikut-pengikut Yesus yang mula-mula ingin agar semua orang dapat mendengar Firman Allah dalam bahasa mereka masing-masing. Di antara orang-orang Kristen itu ada yang mulai menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa yang paling banyak dipakai oleh sahabat kenalan mereka. Pada zaman itu dunia Barat dikuasai oleh Kekaisaran Romawi. Jadi, kebanyakan orang memakai bahasa Latin, bahasa kekaisaran itu.
Terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Latin yang mula-mula itu agak jelek dan sukar dipahami. Maka Tuhan mendatangkan pertolongan dari suatu sumber yang tak diharapkan: seorang pemuda kaya yang tidak mau membaca Alkitab dalam bahasa Latin karena terlalu banyak kekurangan bahasa dalam terjemahan tersebut.
Hieronymus, begitulah nama pemuda itu, oleh orang tuanya disekolahkan baik-baik. Ia menjadi seorang sarjana bahasa. Dengan beberapa kawannya dari kaum cendekiawan, ia melayari Laut Tengah pada tahun 375, sampai ke kota Antiokhia yang terkenal dalam sejarah kekristenan.
Antiokhia sedang diserang oleh wabah penyakit. Hieronymus juga ketularan sakit demam itu. Pada suatu malam ketika ia sedang sakit, dalam mimpi Hieronymus melihat Tuhan Yesus. Yesus seolah-olah berdiri di sampingnya dan berkata: "Engkau lebih senang menjadi pengikut para sastrawan dari pada pengikutKu."
Kata Hieronymus, "Ya Tuhan, insaflah aku kini, jikalau aku membaca buku-bulu selain FirmanMu, aku pun menyangkal Engkau!" Mimpinya itu mengubah seluruh pandangan dan sikap Hieronymus terhadap Alkitab. Maka pada saat pemimpin-pemimpin gereja mohon agar ia memperbaiki Alkitab bahasa Latin (yang sudah diakui jeleknya), bersedialah dia menerima tugas berat itu.
Mula-mula Hieronymus mengerjakan Kitab-Kitab Injil. Lalu ia pindah ke Betlehem, tempat kelahiran Tuhan Yesus. Di situ ia mendapatkan beberapa rabbi bangsa Yahudi sebagai pembantunya. Mulailah dia menterjemahkan kitab-kitab Perjanjian Lama. Pekerjaannya itu selesai pada tahun 405.
Alkitab bahasa Latin hasil karya Hieronymus disebut Vulgata: artinya, "bagi semua orang." Mula-mula beberapa pemimpin gereja kurang menyetujui terjemahan baru itu. Tetapi di seluruh Eropa, Alkitab Vulgata diterima baik sebagai Firman Allah "bagi semua orang." Kitab Suci bahasa Latin itu disalin dengan tulisan tangan selama seribu tahun lebih, dan kemudian menjadi buku yang pertama-tama dicetak. Terjemahan Hieronymus itu masih tetap dipakai hingga kini.
Firman Allah Dalam Bahasa Manusia

Tidak semua orang dapat mengerti bahasa Latin, baik sekarang maupun dahulu kala. Jadi, pada masa kuno orang-orang Kristen mulai menterjemahkan Firman Allah ke dalam bahasa-bahasa lainnya yang dipakai di benua Eropa.
Dan bukan hanya di benua itu saja : Di antara versi-versi Alkitab yang paling tua, ada juga beberapa yang disediakan untuk penduduk benua Afrika dan benua Asia. Pada abad-abad pertama dalam sejarah kekristenan, sudah ada terjemahan Alkitab untuk orang Mesir, untuk orang Etiopia, untuk orang Siria, untuk orang Arab, dan untuk orang yang tinggal di daerah-daerah yang kini dikenal sebagai Irak dan Iran.
Pada pertengahan abad ke15, orang Barat mulai mencetak dengan huruf yang dapat dipindah-pindahkan. Sesungguhnya seni cetak sudah ditemukan jauh sebelumnya oleh orang Timur, tetapi orang Eropalah yang mula-mula memanfaatkannya, khususnya untuk memperbanyak salinan Firman Allah. Satu mesin cetak dapat mengganti pekerjaan sekian banyak juru tulis, yang dengan susah payah harus menyalin tiap kata dengan tulisan tangan. Lagi pula, kesalahan teknis dengan lebih mudah dapat dikontrol, karena tiap salinan itu akan persis sama seperti salinan lainnya.
Heran, tidak semua orang Kristen senang pada masa Firman Allah menjadi lebih mudah diperoleh. Beberapa pemimpin gereja sudah biasa menafsirkan isi Alkitab untuk orang lain. Mereka merasa bahwa pembacaan Kitab Suci itu haruslah dipertahankan sebagai hak monopoli mereka.

Mereka bukan hanya melawan usaha memperbanyak salinan Alkitab; lebih-lebih mereka melawan usaha memperbanyak terjemahan Alkitab. Pada zaman itu sungguh menuntut keberanian untuk menterjemahkan Firman Allah.
William Tyndale adalah seorang sarjana Alkitab yang tinggal di negeri Inggris pada abad Alkitab baru mulai dicetak. Pernah ia berdebat dengan seorang pemimpin gereja tentang baik buruknya orang biasa diberi Alkitab. "Jika Tuhan menguatkanku," serunya kepada lawannya itu, "aku akan berusaha supaya anak petani yang memegang tenggala akan lebih mengerti isi Alkitab daripada kamu!"
Tuhan memang menguatkan William Tyndale untuk tugas berat itu. Ia menghasilkan suatu terjemahan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris yang jauh lebih jitu dan lebih mudah dipahami daripada semua terjemahan sebelumnya. Karena perlawanan pimpinan gereja, Tyndale terpaksa mengungsi ke negeri Jerman. Di situ pada tahun 1525 hasil karyanya menjadi Perjanjian Baru bahasa Inggris yang pertama-tama dicetak.
Untuk memasukkan kitab-kitab itu ke negeri Inggris, Tyndale harus menyembunyikannya di dalam karung-karung biji gandum dan bungkusan-bungkusan kain. Boleh dikatakan, ia menyelundupkan Alkitab! Para penguasa berusaha menyita dan membakar kitab-kitab itu. Akhirnya mereka pun sampai memenjarakan William Tyndale, lalu membakar dia hidup-hidup. Namun perbuatannya yang berani itu sudah merintis jalan supaya Alkitab dapat dibaca oleh semua orang.
Martinus Luther juga menghadapi permusuhan yang hebat di tanah airnya, negeri Jerman. Seorang sahabat menyelamatkan dia dari hukuman (atau bahkan dari pembunuhan) dengan jalan menyembunyikan dia di dalam sebuah benteng. Selama sepuluh bulan di dalam benteng itu, Luther menterjemahkan Kitab Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Jerman.
Kemudian Luther pun mengerjakan suatu terjemahan Perjanjian Lama. Pilihannya akan kata dan ungkapan jitu sekali, sesuai dengan alam pikiran orang-orang sebangsanya. Kata orang, "Martinus Luther membuat Nabi Musa berbicara dengan logat orang Jerman, sehingga kami tidak menyangka dia itu orang Yahudi!"
Memang itulah maksud tujuan tiap penterjemah Alkitab: agar mewujudkan Firman Allah dalam bahasa manusia. Tetapi kadang-kadang tujuan itu sukar dicapai.

Mencari Kata yang Tepat
Saat ini juga, di Irian Jaya ada banyak orang Kristen yang bekerja keras untuk memberikan Alkitab kepada berbagai-bagai suku. Sulitlah kita membayangkan persoalan-persoalan yang harus mereka atasi. Tidak ada kamus untuk bahasa-bahasa di pedalaman itu -- bahkan sering tidak ada bahasa tertulis sama sekali! Para penterjemah harus menunjuk kepada sesuatu dengan bertanya "Apa ini?" dan lalu berusaha mencatat bunyi jawabannya dalam huruf dan kata.
Istilah-istilah Alkitabiah sering menjebak para penterjemah. Alkitab yang pertama-tama dicetak di Amerika Utara, pada tahun 1663, bukanlah dalam bahasa Inggris melainkan dalam bahasa salah satu suku Indian di sana. John Eliot, penterjemahnya, menemukan bahwa orang-orang Indian itu tidak memiliki sebuah kata untuk "garam." Ia harus membuatnya sendiri, baru ia dapat mengalihbahasakan ayat seperti misalnya "Kamu adalah garam dunia" (Matius 5:13).
Di dalam salah satu bahasa yang dipakai di negeri Liberia, Afrika Barat tiada kata yang berarti "nabi." Tetapi menurut adat suku itu, kepala desa dua kali sehari menyuruh seseorang pergi berkeliling sambil menyerukan pengumuman yang penting. Maka itu, seorang penterjemah Alkitab di sana memilih istilah "penyeru desa yang disuruh Allah." Istilah itu tepat sekali, karena para nabi memang adalah orang-orang yang disuruh Allah untuk menyatakan kehendakNya kepada manusia.
Kadang-kadang kesulitan timbul, bukan karena tidak ada kata yang tepat, melainkan justru sebaliknya. Dalam bahasa Zulu di Afrika, tidak kurang dari 120 kata yang berarti "berjalan kaki." Betapa rumitnya memilih kata-kata yang tepat untuk dipakai dalam Kitab Suci!
Kadang-kadang kesulitan timbul, bukan karena kekurangan atau kebanyakan istilah, melainkan karena adanya sesuatu (atau tidak adanya sesuatu) dalam cara hidup orang-orang yang diharapkan akan membaca terjemahan Alkitab itu. Di pedalaman sebelah timur Peru, Amerika Latin, penduduk asli tak dapat membayangkan bahwa "di padang belantara" Tuhan Yesus merasa "lapar." (Lihatlah Matius 4:1-2). Satu-satunya tempat sunyi senyap yang mereka kenal ialah hutan rimba. Masakan Tuhan Yesus kelaparan di sana! Mudah saja Ia dapat memburu binatang atau memetik buah-buahan.
Kadang-kadang ungkapan Alkitabiah yang dipilih itu kedengarannya aneh. Di dalam Alkitab bahasa Vietnam, istilah "munafik" diterjemahkan "orang yang mulutnya lurus tapi hatinya bengkok." Di dalam Alkitab untuk salah satu suku Indian di Amerika Latin, "munafik" diterjemahkan "bermuka dua," atau bahkan "berkepala dua."
Di Afrika Barat seorang penterjemah pernah bertanya: "Bagaimana sebaiknya kita membahasakan 'Allah menebus kita'?"

Seorang penduduk asli menjawab: '"Allah mengeluarkan kepala kita.'" Lalu ia pun menjelaskan ari ungkapan yang aneh itu:
"Masa lampau, ketika nenek moyang kami sering diculik untuk dijadikan budak, mereka itu dirantai bersama-sama. Leher mereka dikalungi belenggu besi yang berat. Kadang-kadang pada saat mereka digiring melalui sebuah desa, penghulu desa itu mengenali di antaranya seorang sahabat atau saudara. Ia pun segera membayar emas, perak, atau gading sebagai tebusan. Belenggu leher itu dibuka, sehingga kepala orang tahanan tadi dapat dibebaskan. Jadi, untuk mengatakan 'Allah menebus kita,' mari kita memakai istilah 'Allah mengeluarkan kepala kita.' Tepat, bukan?"

Firman Allah Untuk Semua Orang
Di samping soal terjemahan, ada juga hambatan-hambatan lain dalam usaha memberikan Firman Allah kepada semua orang. Salah satu hambatan itu ialah kekurangan uang.
Pernah ada seorang gadis kecil bernama Mary Jones. Tiap minggu ia berjalan kaki empat kilometer ke rumah bibinya, lalu empat kilometer pulang lagi, hanya supaya ia dapat melihat dan membaca Alkitab milik bibinya. Pada zaman itu, Alkitab masih terlalu mahal untuk dimiliki oleh semua orang.
Pada umur sepuluh tahun si Mary mulai menabung untuk membeli sendiri sebuah Alkitab. Enam tahun lamanya ia mengumpulkan uangnya, sedikit demi sedikit. Lalu pada suatu haru ia berjalan kaki sejauh 40 kilometer ke rumah seorang pendeta yang menjual Alkitab. Sayang, persediaan Kitab Suci itu sudah habis terjual. Ketika pendeta melihat betapa kecewanya gadis itu, ia menjual kepadanya Alkitab milik pribadinya.
Pendeta itu pun bercerita kepada saudara-saudara seimannya tentang Mary Jones, gadis berumur 16 tahun itu, yang rela menabung uang selama enam tahun dan berjalan kaki sejauh 40 kilometer, asal ia mendapat sebuah Alkitab. "Seharusnya Firman Tuhan lebih mudah diperoleh!" serunya kepada kawan-kawannya itu.
Gagasan itu terwujud pada tahu 1804, dengan dibentuknya Lembaga Alkitab Inggris dan Luar Negeri. Lembaga-lembaga lainnya yang sejenis segera mulai didirikan di mana-mana--termasuk di bumi Indonesia, hanya sepuluh tahun kemudian. Tujuan tiap lembaga Alkitab itu ialah menterjemahkan, mencetak, dan mengedarkan Firman Allah. Alkitab, Perjanjian Baru, dan bagian-bagian Kitab Suci itu dijual semurah mungkin--sering lebih murah daripada ongkos cetaknya. Kerugiannya ditutup oleh persembahan umat Kristen. Dan, kalau ada orang yang sungguh tak mampu, Firman Allah bahkan dihadiahkan kepadanya.
Lembaga Alkitab Indonesia didirikan pada tahun 1951, sebagai keturunan lembaga-lembaga serupa yang sudah lama bergiat pada masa sebelum negara kita merdeka. Baik kantor pusatnya di Jakarta maupun percetakannya dekat Bogor diarahkan pada satu tujuan saja : supaya Firman Allah disebarluaskan di antara bangsa Indonesia.
Kadang-kadang ada kesulitan teknis yang menghambat peredaran Alkitab. Tapi dalam hal ini pun Allah sewaktu-waktu turun tangan, agar FirmanNya dapat dibaca dengan leluasa.

Contohnya: Pernah ada seorang penginjil di sebuah pulau di Lautan Teduh. Di sana dengan susah payah ia menterjemahkan salah satu Kitab Injil ke dalam bahasa setempat. Lalu naskahnya itu dikirim jauh melintasi samudra, ke pulau Hawaii, di mana hasil karyanya akan dicetak menjadi buku-buku kecil.
Lama sekali penginjil itu menantikan kabar. Akhirnya ada sebuah kapal yang tiba dari Hawaii. Tetapi heran, buku-buku yang diharap-harapkan itu tiada termasuk pada muatannya. Yang ada, hanya sebuah mesin cetak kecil dengan surat pengantar yang berbunyi sebagai berikut: "Cetaklah sendiri Kitab-Kitab Injil itu. Kami di Hawaii terlalu sibuk dengan tugas-tugas lain. Juga, dengan mempunyai alat percetakan sendiri, tidak usahlah tunggu lama-lama seperti sekarang."
Penginjil itu sedih sekali. Ia tidak tahu apa-apa tentang pekerjaan mencetak. Pembantu-pembantunya pun masih bodoh mengenai hal itu.

Dua hari kemudian, ada sebuah sekoci yang mendarat di pulau itu. Yang mendayung perahu kecil itu ada empat orang. "Hanya kami saja yang selamat dari sebuah kapal yang tenggelam," kata mereka.
Salah seorang awak kapal tersebut lalu melihat mesin cetak kecil tadi. "O, di sini ada percetakan, ya?" tanyanya.
"Belum ada," jawab penginjil itu sedih. "Yang ada, cuma alatnya saja."
Pelaut itu tersenyum. "Kebetulan saya sendiri seorang tukang cetak. Bapak mau mencetak apa saja? Saya pun bersedia mengajar orang lain bagaimana caranya menjalankan mesin cetak ini."
Ajaiblah cara Tuhan bertindak demi FirmanNya, bukan?

Artikel ini diambil dari : 
Cermat, H.L. Alkitab: Dari Mana Datangnya?. Lembaga Literatur Baptis, Bandung. Halaman 10-16.  

Post a Comment

أحدث أقدم